Powered By Blogger
100 Blog Indonesia Terbaik

Gelar Kebangsawanan Kutai Kartanegara

Kamis, 05 Januari 2012

Gelar Kebangsawanan Kutai Kartanegara

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan didepan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
Aji SultanDigunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
Aji RatuGelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan
Aji PangeranGelar bagi putera Sultan.
Aji PuteriGelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
Aji RadenGelar yang setingkat diatas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
Aji BambangGelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
AjiGelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Catatan:
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
Aji SayidGelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Aji SyarifahGelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Catatan:
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Peninggalan Budaya
Ketopong Sultan Kutai
Ketopong (mahkota) Sultan Kutai Kartanegara

Ketopong Sultan Kutai
Ketopong atau mahkota Sultan Kutai ini terbuat dari emas dengan berat hampir 2 kg.  Saat ini, Ketopong Sultan Kutai disimpan di Museum Nasional Jakarta.
>> Detail


Pedang Kerajaan Kutai
Pedang Sultan Kutai Kartanegara

Pedang Sultan Kutai
Pedang Kerajaan Kutai ini terbuat dari emas padat. Pada gagang pedang terukir seekor harimau yang sedang siap menerkam, sementara pada ujung sarung pedang dihiasi dengan seekor buaya. Pedang Sultan Kutai ini dapat dilihat di Museum Nasional, Jakarta.

Kalung Ciwa
Kalung yang terbuat dari emas ini diketemukan oleh penduduk di sekitar Danau Lipan, Kecamatan Muara Kaman pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899). Oleh penduduk kalung ini diserahkan kepada Sultan, yang kemudian dijadikan perhiasan kerajaan dan digunakan Sultan pada waktu diadakan pesta adat Erau dalam rangka ulang tahun penobatan Sultan sebagai Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Kalung Uncal
Kalung Uncal
Kalung Uncal
Kalung Uncal yang merupakan atribut dari Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman) ini digunakan oleh Sultan Kutai Kartanegara setelah Kerajaan Kutai Martadipura berhasil ditaklukkan dan dipersatukan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Terbuat dari emas 18 karat dengan berat 170 gram. Kalung ini dihiasi dengan relief cerita Ramayana.  
Menurut sejarah, kalung Uncal tersebut kemungkinan berasal dari India. Dalam bahasa India kalung ini disebut Unchele dan di dunia ini hanya terdapat 2 buah atau satu pasang, yakni sebuah untuk pria dan sebuahnya lagi untuk wanita. 
Kalung Uncal yang saat ini ada di India hanya sebuah saja. Menurut keterangan salah seorang duta India yang berkunjung ke Tenggarong pada tahun 1954, kalung Uncal yang ada di Kutai ini sama bentuk, rupa dan ukurannya dengan kalung Unchele yang ada di India. Sehingga, ada kemungkinan bahwa Raja Mulawarman Nala Dewa merupakan salah seorang keturunan dari Raja-Raja India di masa silam dan membawa kalung Uncal tersebut ke daerah Kutai ini.
Kura-Kura Mas
Menurut riwayat, datanglah ke pusat Kerajaan Mulawarman beberapa rombongan perahu dari negeri Cina yang dipimpin oleh seorang Pangeran yang ingin meminang salah seorang Putri Raja yang bernama Aji Bidara Putih. Setelah lamaran diterima, sang Pangeran mengantarkan barang-barang pertanda kesungguhannya untuk memperistri sang putri berupa perhiasan dari emas dan intan, termasuk diantaranya adalah Kura-Kura Mas tersebut.
Tali Juwita
Tali juwita adalah simbul dari sungai Mahakam yang mempunyai 7 buah muara sungai dan 3 buah anak sungai (sungai Kelinjau, Belayan dan Kedang Pahu). Tali Juwita ini terbuat dari benang yang banyaknya 3x7 helai, kemudian dikuningi dengan kunyit untuk dipakai dalam upacara adat Bepelas.
Keris Bukit KangKeris ini adalah tusuk konde dari Aji Putri Karang Melenu, permaisuri Raja Kutai Kartanegara yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti. Menurut legenda Kutai, bayi perempuan yang kemudian diberi nama Aji Putri Karang Melenu ini ditemukan dalam sebuah gong bersama-sama dengan Keris Bukit Kang dan sebuah telur ayam. Gong ini terletak pada sebuah balai dari bambu kuning. Balai tersebut terletak diatas tanduk seekor binatang aneh yang disebut Lembu Swana yang muncul di perairan Kutai Lama.
Kelambu Kuning
Berbagai benda yang menurut kepercayaan mengandung magis ditempatkan dalam kelambu kuning, yakni:
a. Kelengkang Besi
Pada suatu hari ketika hujan panas, petinggi yang tinggal di sungai Bengkalang (Kecamatan Long Iram) yang bernama Sangkareak mendengar suara tangisan bayi. Setelah dicari akhirnya ditemukannya seorang bayi berada dalam suatu wadah yang disebut kelengkang besi.
b. Tajau (Guci/Molo)
Tajau atau tempayan ini dipergunakan untuk mengambil air ketika hendak memandikan Aji Batara Agung Dewa Sakti untuk pertama kalinya.
c. Gong Raden GaluhTempat Aji Putri Karang Melenu bersama Keris Bukit Kang diketemukan. Gong besar ini disebut juga Gong Maharaja Pati.
d. Gong Bende (Canang Ponograh)Gong kecil ini dipukul bilamana ada sesuatu yang akan diumumkan kepada khalayak.
e. Arca Singa NolehKonon, arca Singa Noleh awal mulanya adalah seekor binatang hidup yang sedang memakan beras lempukut yang baru ditumbuk oleh seorang wanita. Wanita tersebut marah dan binatang tersebut jatuh, terus menjadi batu bercampur porselein seperti keadaannya sekarang.
f. Keliau Aji Siti Berawan
Keliau atau perisai ini adalah yang selalu dipakai oleh Aji Siti Berawan, keluarga dari dari Sultan Kutai Kartanegara. Aji Siti Berawan disebut pahlawan wanita karena selalu mempertahankan kerajaan dari serangan musuh. Mandau yang dipakainya dinamakan Mandau Piatu.
g. Sangkoh Piatu
Sangkoh (lembing) ini dipakai pada waktu Erau dan dikaitkan pada tali Juwita dan kain Cinde.
h. Sangkoh Buntut YupaLembing ini penjelmaan dari seekor ular yang diketemukan di ujung pulau Yupa oleh seorang penduduk kampung sekitar pulau tersebut.
Singgasana Sultan Kutai
Singgasana Sultan Kutai Kartanegara



Singgasana Sultan
Setinggil / Singgasana yang dipakai Sultan Aji Muhammad Sulaiman maupun yang dipakai Sultan Aji Muhammad Parikesit, berikut payung, umbul-umbul, dan geta(peraduan pengantin Kutai Keraton). 


Meriam Sapu Jagat dan Meriam Gentar Bumi
Kedua meriam yang dianggap memiliki kekuatan daya sakti ini digunakan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa untuk menundukkan Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman.
Meriam Aji Entong
Meriam buatan VOC ini awalnya ditempatkan di daerah muara sungai Mahakam, tepatnya di Terantang (Kecamatan Anggana), untuk berjaga-jaga dan menghadapi musuh yang datang melalui selat Makassar.
Meriam Sri Gunung
Meriam Sri Gunung inilah yang dipakai Awang Long gelar Pangeran Senopati untuk menembak armada kapal Inggris dan Belanda yang menyerang Tenggarong pada tahun 1844.
Tombak Kerajaan Majapahit
Tombak-tombak tua dari Kerajaan Majapahit yang tersimpan di Museum Mulawarman membuktikan adanya hubungan sejarah antara Kerajaan Kutai Kartanegara dengan Kerajaan Majapahit.
Keramik Kuno Tiongkok
Ratusan koleksi keramik kuno dari berbagai dinasti di Cina yang tersimpan di ruang bawah tanah Museum Mulawarman membuktikan telah adanya perdagangan yang ramai antara daerah Kutai dengan daratan Cina di masa lampau.
Gamelan Gajah Prawoto
Seperangkat gamelan yang terdapat di Museum Mulawarman berasal dari pulau Jawa, begitu pula topeng-topeng, beberapa keris, pangkon, barang-barang perak maupun kuningan, serta wayang kulit membuktikan adanya hubungan yang erat antara Kerajaan Kutai Kartanegara dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa semenjak jayanya Majapahit.
Mitologi Kutai

Lahirnya Aji Batara Agung Dewa Sakti( Raja Kutai Kartanegara Pertama )
Tersebutlah didalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan isterinya tinggal di sebuah gunung, di tempat mana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di khayangan belum juga menganugerahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk memerintah negeri Jaitan Layar ini. Sering Petinggi Jaitan Layar beserta isterinya bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak.
Pada suatu malam ketika mereka sedang tertidur dengan nyenyaknya, terdengar suara diluar rumah yang begitu gegap gempita hingga menyentakkan mereka dari tidur di peraduan. Mereka pun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah.
Nampaklah oleh mereka sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah. Suasana malam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta isterinya segera masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam. Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya.
"Sambut mati babu, tiada sambut mati mama!"
Sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga, "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus!"
"Sambut mati babu, tiada disambut mati mama." kembali suara itu terdengar.
"Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.'' jawab si Petinggi.
Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata, "Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama isterinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga mas. Raga mas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya Petinggi beserta isterinya tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti dengan lampin berwama kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah tujuh orang Dewa yang telah menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari Dewa itu menyapa Petinggi, "Berterima kasihlah kepada Dewata, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim isterimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa dari khayangan, karena itu jangan sia-siakan untuk memeliharanya, tapi jangan dipelihara seperti anak manusia biasa."
Dewa juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
"Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi."
"Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah, setelah diadakan erau (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. Selain itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepala kerbau mati."
"Demikian pula bilamana anak ini untuk pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara erau (pesta) sebagaimana upacara pada tijak tanah."
Setelah pesan-pesan tersebut disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh Dewa itu naik kembali ke langit. Petinggi dan isterinya dengan penuh rasa bahagia membawa bayi itu masuk ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Akan tetapi isteri Petinggi susah hatinya, karena payudaranya tidak dapat meneteskan air susu. Apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya?
Akhimya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghambur beras kuning, sambil mereka memanjatkan do'a kepada para Dewa, agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya teteknya mengandung air susu yang harum baunya. Setelah selesai berdo'a, terdengarlah suara dari langit, "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah tetekmu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah ini, isteri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap teteknya sebelah kanan dan pada waktu sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek isteri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bagaimana anaknya keturunan dari Dewa, mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam, tanggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam "Sapu Jagat" ditembakkan sebanyak tujuh kali. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati-hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, di alam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layarpun mempersiapkan upacara tijak tanah(menginjak tanah) dan upacara erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. Empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata ditabuh siang malam, membuat suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
Sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka bermacam binatang baik betina, maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesan dari Dewa yaitu agar membunuh beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk diinjak kepalanya oleh Batara Agung pada upacara "tijak tanah".
Kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan kepada kepala-kepala binatang dan manusia itu.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Ditepi sungai Aji Batara Agung dimandikan, dimana kakinya dipijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda.
Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Tiba-tiba guntur berbunyi dengan dahsyatnya menggoncangkan bumi dan hujan panas pun turun merintik. Tetapi keadaaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah kembali datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kasur agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya ialah gigi Aji Batara Agung diasah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pesta pun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini, dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat. Demikian juga semua hiasan-hiasan rumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagi-bagikan kepada rakyat.
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata "Tiada siapapun yang dapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan."
Selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jahitan Layar berjalan seperti biasa kembali, masing2 penduduk melaksanakan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. Sementara itu Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan, berwibawa dan kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.***

Mitologi Kutai Selanjutnya:
Legenda Naga Erau dan Puteri Karang Melenu
Mitologi Kutai

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu
Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.
Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.
Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
"Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda." kata sang putri, "Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah."
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam. 
"Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai."
Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.
Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.
Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu. 
Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.***
Mitologi Kutai
Lahirnya Aji Batara Agung Dewa Sakti( Raja Kutai Kartanegara Pertama )
Tersebutlah didalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan isterinya tinggal di sebuah gunung, di tempat mana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di khayangan belum juga menganugerahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk memerintah negeri Jaitan Layar ini. Sering Petinggi Jaitan Layar beserta isterinya bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak.
Pada suatu malam ketika mereka sedang tertidur dengan nyenyaknya, terdengar suara diluar rumah yang begitu gegap gempita hingga menyentakkan mereka dari tidur di peraduan. Mereka pun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah.
Nampaklah oleh mereka sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah. Suasana malam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta isterinya segera masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam. Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya.
"Sambut mati babu, tiada sambut mati mama!"
Sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga, "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus!"
"Sambut mati babu, tiada disambut mati mama." kembali suara itu terdengar.
"Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.'' jawab si Petinggi.
Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata, "Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama isterinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga mas. Raga mas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya Petinggi beserta isterinya tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti dengan lampin berwama kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah tujuh orang Dewa yang telah menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari Dewa itu menyapa Petinggi, "Berterima kasihlah kepada Dewata, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim isterimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa dari khayangan, karena itu jangan sia-siakan untuk memeliharanya, tapi jangan dipelihara seperti anak manusia biasa."
Dewa juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
"Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi."
"Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah, setelah diadakan erau (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. Selain itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepala kerbau mati."
"Demikian pula bilamana anak ini untuk pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara erau (pesta) sebagaimana upacara pada tijak tanah."
Setelah pesan-pesan tersebut disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh Dewa itu naik kembali ke langit. Petinggi dan isterinya dengan penuh rasa bahagia membawa bayi itu masuk ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Akan tetapi isteri Petinggi susah hatinya, karena payudaranya tidak dapat meneteskan air susu. Apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya?
Akhimya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghambur beras kuning, sambil mereka memanjatkan do'a kepada para Dewa, agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya teteknya mengandung air susu yang harum baunya. Setelah selesai berdo'a, terdengarlah suara dari langit, "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah tetekmu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah ini, isteri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap teteknya sebelah kanan dan pada waktu sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek isteri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bagaimana anaknya keturunan dari Dewa, mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam, tanggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam "Sapu Jagat" ditembakkan sebanyak tujuh kali. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati-hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, di alam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layarpun mempersiapkan upacara tijak tanah(menginjak tanah) dan upacara erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. Empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata ditabuh siang malam, membuat suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
Sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka bermacam binatang baik betina, maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesan dari Dewa yaitu agar membunuh beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk diinjak kepalanya oleh Batara Agung pada upacara "tijak tanah".
Kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan kepada kepala-kepala binatang dan manusia itu.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Ditepi sungai Aji Batara Agung dimandikan, dimana kakinya dipijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda.
Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Tiba-tiba guntur berbunyi dengan dahsyatnya menggoncangkan bumi dan hujan panas pun turun merintik. Tetapi keadaaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah kembali datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kasur agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya ialah gigi Aji Batara Agung diasah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pesta pun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini, dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat. Demikian juga semua hiasan-hiasan rumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagi-bagikan kepada rakyat.
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata "Tiada siapapun yang dapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan."
Selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jahitan Layar berjalan seperti biasa kembali, masing2 penduduk melaksanakan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. Sementara itu Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan, berwibawa dan kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.***

Mitologi Kutai Selanjutnya:
Legenda Naga Erau dan Puteri Karang Melenu
Mitologi Kutai

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu
Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.
Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.
Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
"Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda." kata sang putri, "Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah."
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam. 
"Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai."
Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.
Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.
Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu. 
Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.***

Mitologi Kutai

Lahirnya Aji Batara Agung Dewa Sakti( Raja Kutai Kartanegara Pertama )
Tersebutlah didalam hikayat Kutai, bahwasanya Petinggi Jaitan Layar dengan isterinya tinggal di sebuah gunung, di tempat mana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami isteri, namun Dewa di khayangan belum juga menganugerahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk memerintah negeri Jaitan Layar ini. Sering Petinggi Jaitan Layar beserta isterinya bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya, memohon kepada Dewata untuk mendapatkan anak.
Pada suatu malam ketika mereka sedang tertidur dengan nyenyaknya, terdengar suara diluar rumah yang begitu gegap gempita hingga menyentakkan mereka dari tidur di peraduan. Mereka pun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah.
Nampaklah oleh mereka sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah. Suasana malam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta isterinya segera masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam. Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya.
"Sambut mati babu, tiada sambut mati mama!"
Sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga, "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus!"
"Sambut mati babu, tiada disambut mati mama." kembali suara itu terdengar.
"Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.'' jawab si Petinggi.
Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata, "Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jaitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama isterinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga mas. Raga mas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya Petinggi beserta isterinya tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti dengan lampin berwama kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah tujuh orang Dewa yang telah menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari Dewa itu menyapa Petinggi, "Berterima kasihlah kepada Dewata, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim isterimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa dari khayangan, karena itu jangan sia-siakan untuk memeliharanya, tapi jangan dipelihara seperti anak manusia biasa."
Dewa juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi.
"Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi."
"Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah, setelah diadakan erau (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. Selain itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepala kerbau mati."
"Demikian pula bilamana anak ini untuk pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara erau (pesta) sebagaimana upacara pada tijak tanah."
Setelah pesan-pesan tersebut disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh Dewa itu naik kembali ke langit. Petinggi dan isterinya dengan penuh rasa bahagia membawa bayi itu masuk ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Akan tetapi isteri Petinggi susah hatinya, karena payudaranya tidak dapat meneteskan air susu. Apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya?
Akhimya Petinggi Jaitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghambur beras kuning, sambil mereka memanjatkan do'a kepada para Dewa, agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya teteknya mengandung air susu yang harum baunya. Setelah selesai berdo'a, terdengarlah suara dari langit, "Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah tetekmu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah ini, isteri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap teteknya sebelah kanan dan pada waktu sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba mencuratlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari tetek isteri Petinggi Jaitan Layar itu sendiri. Kedua laki isteri itu sangat bahagia melihat bagaimana anaknya keturunan dari Dewa, mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam, tanggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jaitan Layar pun bergembira. Meriam "Sapu Jagat" ditembakkan sebanyak tujuh kali. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati-hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Ingin dia bermain-main di halaman, di alam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian.
Maka Petinggi Jaitan Layarpun mempersiapkan upacara tijak tanah(menginjak tanah) dan upacara erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. Empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, dimana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata ditabuh siang malam, membuat suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
Sesudah erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka bermacam binatang baik betina, maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jaitan Layar tidak melupakan pesan dari Dewa yaitu agar membunuh beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk diinjak kepalanya oleh Batara Agung pada upacara "tijak tanah".
Kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan kepada kepala-kepala binatang dan manusia itu.
Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Ditepi sungai Aji Batara Agung dimandikan, dimana kakinya dipijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda.
Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Tiba-tiba guntur berbunyi dengan dahsyatnya menggoncangkan bumi dan hujan panas pun turun merintik. Tetapi keadaaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah kembali datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jaitan Layar kemudian membuka hamparan dan kasur agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya ialah gigi Aji Batara Agung diasah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pesta pun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini, dibagi-bagikan oleh Petinggi Jaitan Layar kepada penduduk yang melarat. Demikian juga semua hiasan-hiasan rumah oleh Nyai Jaitan Layar dibagi-bagikan kepada rakyat.
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung dengan kata-kata "Tiada siapapun yang dapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan."
Selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jahitan Layar berjalan seperti biasa kembali, masing2 penduduk melaksanakan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. Sementara itu Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan, berwibawa dan kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.***

Mitologi Kutai Selanjutnya:
Legenda Naga Erau dan Puteri Karang Melenu
Mitologi Kutai

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu
Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.
Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.
Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
"Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda." kata sang putri, "Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah."
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam. 
"Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai."
Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.
Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.
Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu. 
Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.***


0 komentar:

Posting Komentar